Home » , » Do’a sang Sungai

Do’a sang Sungai

Oleh: "Isriyanto, S.Pd" | Giat Belajar Nov 7, 2011
Dibelakang pasar, sebuah perbatasan antara sungai dengan laut. Tiap pagi, tiap waktu, pelaku pasar hanya tahu urusan untung-rugi dengan kehidupan pasar yang ada, memang tidak ada yang perlu dipikirkan selain harga yang bisa menguntungkan, urusan buah membusuk yang tidak laku, bulu ayam, sisa-sisa potongan ikan, sampah, kulit sayur yang tidak bisa dikomsusi lagi, tidak perlu jauh-jauh menggunakan kendaraan untuk membuangnya, cukup 3 sampai 7 langkah kebelakang pasar, semuanya bisa hilang dengan jasa aliran sungai menuju laut. Dengan adanya sungai itu, paling tidak uang untuk membayar jasa tukang sampah tidak menjadi pikiran lagi. Dan memang Sungai yang panjangnya dari hulu ke ilir menuju laut kira-kira panjangnya 20 km bukan hanya menjadi sarana pembuangan sampah-sampah bagi pedagang di pasar, tapi juga menjadi kebanggaan masyarakat Kampung Ulu bahkan kebanggaan tingkat kecamatan. 

Tidak sedikit pedagang ketika membuang sampah di atas Sungai berkata, “engkaulah yang tidak merasa rugi, ketika kami membuang sampah diatasmu,”. Begitu pula masyrakat yang ada disekelilingnya, disaat membuka jendela yang berhadapan dengan Sungai, “Ehm. Segar benar tinggal di depan sungai yang airnya jernih, engkau tidak marah ketika kami meludahimu, engkau tetap jernih walaupun anak-anak kami mandi dengan bermacam daki dan kotoran di tubuh mereka, engkau tetap memberikan kesegaran disaat kami lelah, engkau tetap menjadi pelepas dahaga disaat kami kehausan, engkau tetap memberikan kami udang dan ikan yang dapat kami pancing”, setiap kali mendengar pujian-pujian ini, Sungai senang-gembira menerimanya, setiap kali pula ia mendengar pujian, maka setiap itu pula ia berkata kepada saudaranya Laut, “kamu dengar Laut?, aku dipuji oleh mereka walaupun luasku tidak seluas engkau, aku disanjung oleh  mereka walaupun aku tidak dapat mengantarkan mereka ke liling dunia, aku dibanggakan oleh mereka walaupun aku tidak meberikan harta benda kepada mereka”. Mendengar itu, Laut hanya terpukau, kagum dan ikut bangga.

Hari-hari berganti, bukan hanya pedagang pasar yang bangga dengan sang Sungai, masyarakat disekelilingnya pun bangga dengan adanya si Sungai yang jernih, bukan hanya orang tua, anak-anak pun suka dan senang mandi di dalamnya. Canda dan tawa orang-orang yang mandi dan mencuci selalu ada tiap pagi dan sore.  Hingga di suatu hari, dari aliran atas sungai, bagaikan samudra susu coklat sedang mengalir menuju ke jernihan sungai, sang Sungai jernih pun menjadi sedikit keruh, sang Sungai yang indah dilihat, menjadi sedikit tidak segar dipandang mata, tapi Sungai tetap berbesar hati, sambil berkata “hanya hari ini saja, besok akan seperti dulu lagi, mungkin ada runtuhan tanah di atas sana”. Ketika Laut mengejek “kelihatannya waktu telah berganti nih”. Sungai pun menjawab “tidak setiap hari orang tertawa, pasti ada sedihnya sesaat”. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, tapi keadaan Sungai seolah, selamanya akan hilang kejernihan dan keindahannya. Lumpur awalnya hanya berada di dasar Sungai, tapi kini mulai ada pula di permukaannya, warna terang kini menjadi keru. Sungai hanya terpaku dalam seribu kekalauan. Manusia yang dulu selalu dekat dengannya kini mulai menjahuinya, anak-anak yang dulu menyenanginya kini mulai takut melihatnya, pedagang pun hanya bisa memandang sedih dan tidak bisa berbuat apa-apa, masyarakat disekitarnya pun pura-pura tidak tahu, “apakah Tuhan memang sudah berkehendak, ataukah zaman yang memang sudah edan?” Sungai bertanya kepada Laut, Laut hanya ikut berkata sedih menimpali “jangankan kamu, karena lumpur yang engkau alirkan kepadaku, kini pun aku yang biru menjadi kelabu”. Kemudian Sungai dan Laut pun hanya mampu berdo’a kepada yang menciptakannya :
“Ya Tuhan kami, kami bisa ada karena itu sudah kehendak Mu, dan kami mensyukuri itu.  Ya Tuhan kami, engakau telah mengamanahkan kepada kami, untuk melayani makhluk Mu yang paling mulia yaitu manusia, dan kami telah melaksanakan amanah itu sebaik-baiknya,  tapi ya Tuhan kami, kini kami merasa hilang semangat karena warna kami yang tidak indah lagi di pandang oleh manusia, harga kami hanyalah sebatas pembuangan kotoran, tidak lagi di pandang sebagai pembersih disaat tubuh mereka kotor, anak-anak mereka tidak menganggap kami lagi sebagai tempat keceriaan mereka dikarenakan mereka takut melihat hitamnya kami, kami bukan lagi pelepas dahaga mereka, karena kami kotor dan tercemari, maka salahkah kami Tuhan, untuk meminta kepada Mu, agar kami kembali seperti dulu lagi, tidak tercemari, bersih dan jernih, dan berilah petunjuk kepada hamba-hamba Mu agar dapat menjaga kami, supaya kami dapat melayani mereka sebaik-baiknya, Aamin”.
Share this article :

No comments:

 
Support : Harapan hati, bisa bermanfaat dan diterima apa yang ada di blog ini | Kalau Suka tolong di LIKE facebooknya
Copyright © 2016. Isriyanto - All Rights Reserved
Template Modify by Isriyanto, S.Pd.SD Inspired Love for Blog
Proudly powered by Blogger