Hati-hati Bersikap Di Depan Anak
Oleh: "Isriyanto, S.Pd" | Giat Belajar
Sep 7, 2013
DI sebuah sekolah diadakan pementasan drama. Pentas drama meriah itu
dimainkan oleh siswa-siswi. Setiap anak mendapat peran dan memakai
kostum sesuai dengan tokoh yang diperankannya. Semuanya tampak serius,
sebab Pak Guru akan memberikan hadiah kepada anak yang tampil terbaik
dalam pentas. Sementara di depan panggung semua orang tua murid hadir
menyemarakkan acara itu.
Lakon drama berjalan sempurna. Semua anak tampil maksimal. Ada yang
berperan sebagai petani lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga
yang menjadi nelayan dengan jala disampirkan di bahu. Di sudut sana
tampak pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab kebagian peran
pak tua yang pemarah. Sementara di sudut lain terlihat anak dengan wajah
sedih layaknya si pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan para
orangtua dan guru kerap terdengar.
Tibalah kini akhir pementasan. Saatnya Pak Guru mengumumkan siapa
yang berhak mendapat hadiah. Setiap anak berdebar-debar. Berharap
terpilih menjadi pemain drama terbaik. Mereka komat-kamit berdoa supaya
Pak Guru menyebutkan nama mereka dan mengundang ke atas panggung untuk
menerima hadiah. Para orangtua pun ikut berdoa, berharap anak mereka
menjadi yang terbaik.
Pak Guru naik panggung. Ia menyebutkan sebuah nama. Ahha… ternyata
anak yang menjadi pak tua pemarah lah yang menjadi juara. Dengan wajah
berbinar, sang anak bersorak gembira. “Aku menang…,” begitu teriaknya.
Ia pun bergegas naik panggung diiringi kedua orang tuanya yang tampak
bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Orang tua anak itu menatap
sekeliling, menatap ke seluruh hadirin. Mereka bangga.
Pak Guru menyambut mereka. Sebelum menyerahkan hadiah, ia bertanya,
“Nak, kamu memang hebat. Kamu pantas mendapatkannya. Peranmu sebagai
seorang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya sehingga kamu bisa
tampil sebaik itu? Kamu pasti rajin mengikuti latihan. Coba kamu
ceritakan kepada kami semua, apa yang bisa membuat kamu seperti ini.”
Sang anak menjawab, “Terima kasih atas hadiahnya, Pak. Dan sebenarnya
saya harus berterima kasih kepada ayah saya. Karena, dari Ayah lah saya
belajar berteriak dan menjadi pemarah. Kepada Ayah lah saya meniru
perilaku ini. Ayah sering berteriak kepada saya, maka bukan hal yang
sulit untuk menjadi pemarah seperti ayah.” Tampak sang Ayah yang mulai
tercenung. Sang anak melanjutkan, “Ayah membesarkan saya dengan cara
seperti itu. Jadi, peran ini adalah sangat mudah buat saya.”
Senyap. Usai bibir anak itu terkatup keadaan tambah senyap. Begitupun
kedua orang tua anak itu. Mereka tertunduk. Jika sebelumnnya mereka
merasa bangga, kini keadaannya berubah. Mereka berdiri bagai terdakwa di
muka pengadilan. Mereka belajar se
suatu hari ini. Ada yang perlu
diluruskan dalam perilaku mereka.
Teman, anak adalah duplikat orang di sekitarnya. Setiap anak peniru.
Mereka belajar sesuatu dengan menjadikan kita sebagai contoh. Karena
itu, mereka juga cermin bagi kita. Tempat kita berkaca semua hal yang
kita lakukan. Mereka laksana air telaga yang merefleksikan bayangan saat
kita menatap dalam hamparan perilaku yang mereka perbuat.
Dan, cermin itu meniru pada semua hal, baik-buruk, terpuji-tercela.
Jadi, cermin itu pancaran sejati setiap benda di depannya. Kita tentu
tak bisa memecahkan cermin atau mengoyak ketenangan telaga itu saat
melihat gambaran buruk. Sebab, bukankah itu sama artinya dengan menuding
diri sendiri?
Teman, peran apakah yang sedang kita ajarkan kepada anak-anak kita saat ini? Si pemarah atau si welas asih?
Semoga kita bisa menjadi orang yang sabar saat melihat seorang anak
memecahkan piring yang mereka pegang. Sebab, mereka baru “belajar”
memegang piring itu 5 tahun, sedang kita 20 tahun. Tentu mereka butuh
waktu seperti juga kita ketika masih kecil seperti mereka.[]
Label:
OBSERVASI,
PENDIDIKAN,
SEJENAK
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment