Guru adalah manusia yang sewajarnya harus dihadapi secara manusiawi. Guru memang tidak diharapkan berperilaku sebagai robor, tetapi juga tidak harus berpenampilan sebagai malaikat. Karena terburu-buru ingin mendapat hasil yang tinggi sebagian dari kita mudah terpancing untuk merumuskan syarat yang sangat tinggi bagi seorang guru. Syarat itu dirumuskan sedemikian tinggi sehingga semakin tinggi, semakin sukar kita menemukan manusia biasa yang dapat memenuhinya.
Makin tinggi syaratnya, makin sukar menemukannya. Syarat itu seperti dibuat hanya bagi mereka yang kebetulan malaikat, dan itulah yang tidak mungkin: tidak manusiawi! Karena terobsesi pada hasil akhir sebagai ukuran keberhasilan, kita gagal melihat bahwa hal ini hanyalah bagian terakhir dari sebuah proses panjang yang musykil.
Negara yang mengandalkan sekolah sebagai lembaga untuk penyediaan pendidikan bagi rakyatnya, seperti
Alih-alih, yang diperbaiki terus menerus adalah kurikulum, yang ternyata menjadi usang sekitar setiap 10 tahun saja. Dapatkah kurikulum sebaik apapun dengan dana yang banyak dan teknologi yang canggih, menghasilkan pendidikan yang berkualitas, kalau tidak ditopang oleh guru yang berkualitas? Kurikulum, kecuali cepat usang, juga tidak mungkin dapat melakukan apapun yang hanya dapat dilakukan oleh guru. Hanya guru yang dapat mengajar; kurikulum tidak. Hanya guru yang berkualitas yang dapat menghasilkan kulaitas. Inilah yang harus dijadikan sebagai titik tolak.
Sedangkan, apabila di dalam masyarakat timbul pembicaraan mengenai turunnya kualitas pendidikan, hampir dapat dipastikan bahwa masyarakat terlebih dahulu menyalahkan para guru sebagai kelompok yang tidak professional. Alasan permasalahannya sederhana: kualitas pendidikan diasumsikan menurun karena guru tidak berkualitas. Asumsi pemecahannya juga sedrhana: kalau saja guru berkualitas, pendidikan akan kembali berkualitas. Lalu bagaimana strategi meningkatkan kualitas guru? Strateginya pun sederhana: guru harus ditatar lagi!
Penataran sudah banyak dilakukan, bahkan mungkin terlalu banyak jenis, frekuensi, biaya, manusia, infrastruktur, dan kebijakan yang dipertaruhkan, tetapi tidak juga ada dampak penaran yang relevan. Tetap saja penataran tidak tidak membuktikan kebenaran strategi tersebut. Penataran tidak menatar. Ketika strategi tersebut selesai dilaksanakan, system pengelolaan ternyata tetap saja tidak memperlihatkan kemampuan yang tertatar; semua kebiasaan berjalan seperti biasa. Penataran hanya berbicara tentang hal-hal yang baik. Tidak ada tindak lanjut strategi penataran yang diterapkan di sekolah sehingga menjadi sustainable. Ilmu yang dipelajari akhirnya segera menjadi mubazir; yang tertinggal hanya secarik kertas: sebuah SERTIFIKAT.
Ini bukan penolakan terhadap penataran sebagai strategi peningkatan kualitas. Penataran mempunyai potensi sendiri. Tetapi apabila yang dimaksud dengan penataran hanya kegiatan yang tidak sistematik hanya sekedar sebagai siromonial untuk APBN/APBD, maka yakinlah penataran itu hanyalah awal bagian dari system kegagalan.
Sertifikat penataran itu, bagi guru yang ditatar, mungkin sangat berarti untuk kenaikan pangkat, tetapi tidak berarti apa-apa terhadap peningkatan profesionalisme. Karena itu apa yang kemudian masih tersisa seuasai penataran yang menyerap biaya tinggi, hanyalah kenang-kenangan, bukan dampak penataran.
Kalaupun ada (penataran pada umumnya menyiapkan materi yang disosialisasikan oelh penatar), umumnya materi itupun mubazir apabila tidak diterapkan dan didukung oleh system yang sustainable. Dari pengalaman diketahui bahwa system pengolaan pembelajaran tetap berjalan dengan atau tanpa materi baru itu.
Ketika strategi seperti itu ditantang dan ditentang, guru lagilah yang kena batunya.
Pastilah ada gunanya. Hanya saja, kalau ada, dampaknya meresap begitu lambat dan lamban, sehingga tidak mampu mencapai tingkat yang diperlukan untuk berubah. Itulah yang dimaksud bila dikatakan bahwa pada akhirnya, penataran hanya menjadi bagian dari system kegagalan
Setiap kali menjelang diterbitkannya kurikulum baru (baca: “buku pintar” penjamin kualitas yang dihasilkan oleh birokrasi), guru kemudian ditatar (lagi) agar cukup berkemampuan menerapkan pesan buku pintar tersebut. Artinya, guru sendiri tidak perlu menjadi “guru pintar”, tatapi harus cukup pintar memahami dan menerapkan arahan buku pintar. Karena itu, guru tidak akan mungkin lebih pintar dari buku pintar itu ! mengapa managemen tidak memikirkan strategi untuk menghasilkan guru pintar, lebih dari segala kepintaran buku pintar untuk membumikan program pembelajaran? Apakah buku pintar memang lebih strategi dari “guru pintar” dalam menghasilkan pembelajaran yang bermutu?.
No comments:
Post a Comment